Tidak sewajarnya dan tidak arif memang kalau membandingkan antara perguruan tinggi di bawah Kemendikbud dengan Kemenag. Kemendikbud memang relatif kuat dalam sistem kesemua sumber daya manajemennya – man, money, material, mathod, machine, minute, market maupun knowledge. Hal ini bisa dilihat dalam pengembangan sumber daya manusia lebih khusus bidang kemahasiswaan umpamanya. Mahasiswa di PTU dikembangkan dalam bidang budaya organisasinya melalui Latihan Ketrampilan Manajemen Mahasiswa Tingkat Dasar dan Menengah. Di bidang penalaran dikembangkan melalui jalur PIMNAS dan di bidang bakat seni dan olah raga dikembangkan melalui Peksiminas dan Pekan Olah Raga. Hal ini memang tidak bisa disaingi oleh Kemenag, diantara penyebabnya perguruan tinggi di bawah Kemendikbud di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sementara Kemenag hanya dibawah Direktorat Pendidikan Tinggi Islam atau di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam yang mengurusi semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan Islam. Pada akhirnya akan berimplikasi pada semua sumber daya manajemennya.Melihat realitas semacam ini pesimisme akan menyelimuti upaya pengembangan PTAI.

Terlepas dari semua itu, ketika berkunjung dan bersilaturahmi ke rumah salah satu Kyai di Kotagede Yogyakarta ada inspirasi yang diberikan yaitu: Mengapa PTAI Negeri maupun swasta tidak mengembangkan kebudayaan lokal tempat lembaga itu berada dan berikembang? Dan mengapa PTAI yang menamakan dirinya sesuai dengan tokoh agama setempat tidak memanifestasikan namanya dalam kebijakan, program dan kegiatan? Pantaskan mereka masih menamakan dirinya sesuai dengan nama lembaganya sementara hal tersebut tidak tercermin dalam sendi-sendi kehidupan lembaga tersebut? Beberapa pertanyaan dan kritik tersebut memang perlu direfleksikan semua lembaga PTAI yang berada di Indonesia untuk menjadi bahan bakar pengembangan identitas diri PTAI. Hasil Refleksi bisa menjadi sumber optimisme pengembangan PTAI.

PTAI DAN GEO-CULTURE

Hampir di semua kepulauan nusantara, perguruan tinggi agama Islam negeri berdiri kurang lebih 53 buah dengan bentuk UIN, IAIN maupun STAIN. Pulau Sumatra ada : 2 UIN, 6 IAIN, dan 10 STAIN, Pulau Jawa: 5 UIN, 5 IAIN, dan 8 STAIN, Pulau Kalimantan: 1 IAIN, dan 3 STAIN, Pulau Sulawesi 1 UIN, 1 IAIN, dan 6 STAIN, Pulau Nusatenggara: 1 IAIN, Pulau Maluku : 1 IAIN, dan 1 STAIN, dan Pulau Papua: 2 STAIN. Keberadaan perguruan tinggi agama Islam berada di tengah daerah kota besar dan kecil di nusantara memiliki hikmah yang sangat kuat dibandingkan dengan PTU karena berlokasi di daerah. Jika dipetakan sebagai berikut:

Tabel 1. Lokasi UIN Berdasarkan Pulau

No Propinsi PTAI – UIN
1. Sumatra UIN Sultan Syarif Kasim (UIN SUSKA), Pekanbaru
UIN Ar-Raniry, Aceh
2. Jawa UIN Sunan Gunung Djati (UIN SGD), Bandung
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang
UIN Sunan Kalijaga (UIN SUKA), Yogyakarta
UIN Sunan Ampel, Surabaya
3. Sulawesi UIN Alauddin, Makassar

Keberadaan UIN memang tidak semua pulau ada, akan tetapi dilihat dari pulau besar yang belum memiliki UIN ada 2 pulau, yaitu: Pulau Kalimantan dan Pulau Papua. Namun hal ini tetap memungkinkan pengembangan budaya lokal di setiap pulau tersebut. Pengembangan Budaya Melayu berfokus di UIN Suska sedangkan Pengembangan budaya Aceh dikembangkan oleh UIN Ar Raniri. Pulau Jawa mengembangkan budaya lokal yang paling dekat, seperti UIN Malang harus berbeda pengembangan budaya-nya dibandingkan dengan UIN Surabaya. Budaya yang sama di satu pulau pada UIN/IAIN/STAIN harus berbeda sehingga terbangun pusat unggulannya di masing-masing PTAI. Lebih menyebar lembaga PTAI ketika dilihat dari bentuk IAIN. Berikut gambarannya:

Tabel 2. Lokasi IAIN Berdasar Pulau

No Propinsi PTAI – IAIN
1. Sumatra IAIN Bengkulu, Bengkulu
IAIN Imam Bonjol, Padang
IAIN Raden Fatah, Palembang
IAIN Raden Intan, Bandar Lampung
IAIN Sumatera Utara, Medan
IAIN Sultan Thaha Saifuddin, Jambi
2. Jawa IAIN Walisongo, Semarang
IAIN Sultan Maulana Hasanuddin (IAIN SMH), Serang
IAIN Syekh Nurjati, Cirebon
IAIN Surakarta, Surakarta
IAIN Tulungagung, Tulungagung
3. Kalimantan IAIN Antasari, Banjarmasin
4. Sulawesi IAIN Sultan Amai, Gorontalo
5. Nusa Tenggara IAIN Mataram, Mataram
6. Maluku IAIN Ambon, Ambon

Bentuk IAIN semakin menampakkan keragaman penyebarannya, akan tetapi memang yang belum ada adalah Papua. Tetapi dilihat dari lembaga STAIN hampir semua pulau memiliki PTAIN. Berikut gambarannya:

Tabel 3. Lokasi STAIN Berdasar Pulau

No Propinsi PTAI – STAIN
1. Sumatra STAIN Malikussaleh, Lhokseumawe (Aceh)
STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa, Langsa (Aceh)
STAIN Gajah Putih Takengon, Takengon (Aceh)
STAIN Padang Sidempuan, Sihitang, Tapanuli Selatan (Sumatera Utara)
STAIN Batusangkar, Batusangkar, Tanah Datar (Sumatera Barat)
STAIN Syekh M. Djamil Djambek, Bukittinggi (Sumatera Barat)
STAIN Kerinci, Sungai Penuh, Kerinci (Jambi)
STAIN Curup, Rejang Lebong (Bengkulu)
STAIN Jurai Siwo Metro, Metro (Lampung)
STAIN Syekh Abdurrahman Sidik, Sungailiat (Bangka Belitung)
2. Jawa STAIN Purwokerto, Purwokerto (Jawa Tengah)
STAIN Kudus, Kudus (Jawa Tengah)
STAIN Salatiga, Salatiga (Jawa Tengah)
STAIN Pekalongan, Pekalongan (Jawa Tengah)
STAIN Ponorogo, Ponorogo (Jawa Timur)
STAIN Kediri, Kediri (Jawa Timur)
STAIN Jember, Jember (Jawa Timur)
STAIN Pamekasan, Pamekasan (Jawa Timur)
3. Kalimantan STAIN Pontianak, Pontianak (Kalimantan Barat)
STAIN Palangka Raya, Palangka Raya (Kalimantan Tengah)
STAIN Sultan Sulaiman, Samarinda (Kalimantan Timur)
4. Sulawesi STAIN Manado, Manado (Sulawesi Utara)
STAIN Datokarama Palu, Palu (Sulawesi Tengah)
STAIN Watampone, Bone (Sulawesi Selatan)
STAIN Parepare, Parepare (Sulawesi Selatan)
STAIN Palopo, Palopo (Sulawesi Selatan)
STAIN Sultan Qaimuddin, Kendari (Sulawesi Tenggara)
5. Nusa Tenggara
6. Maluku STAIN Ternate, Ternate (Maluku Utara)
7. Papua STAIN Al-Fatah, Jayapura, (Irian Jaya)
STAIN Sorong, Sorong (Papua Barat)

STAIN dilihat dari geografis, harus mengembangkan budaya yang lebih spesifik lokalitasnya sehingga berbeda dengan IAIN/UIN dalam satu pulau atau daerahnya.

Tiga tabel tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa PTAI bisa mengembangkan budaya lokal sesuai suku yang dominan menempatinya, baik suku Jawa, Sunda, Tionghoa, arab, Melayu, Madura, Batak, Minangkabau, Berawi, Bugis, Banten, Banjar, Sasak, Makasar, Cirebon, dan Papua. Yang bisa dikembangkan bisa bahasa, produk seni (tari, lukis, kriya, dll), naskah klasik lokal maupun mengembangkan produk budaya kerajaan/kesultanan setempat.

Bila dikaitkan dengan kerajaan Islam nusantara sebenarnya juga semakin beragam pengembangan budaya di masing-masing PTAI. Kalau ditelusuri dari wikipedia ada beberapa kerajaan/kesultanan Islam nusantara yaitu kurang lebih 67 buah. Hal ini merupakan tugas berat dalam melacak hasil budaya masing-masing kerajaan/kesultanan tersebut bagi PTAI. Skenario-nya bisa mengacu pada tiga komponen pendidikan yang tidak dapat dipisahkan, yaitu: bidang administrasi dan kepemimpinan, bidang pengajaran, bidang pemberian bantuan.

Bidang administrasi dan kepemimpinan harus mengacu pada nilai-nilai budaya lokal dalam memimpin dan bekerja di PTAI. Bidang pengajaran bisa mengembangkan kurikulum muatan lokal pada pembelajaran. Bidang pemberian bantuan melalui pengembangan kegiatan ekstrakurikuler budaya lokal di tiap PTAI. Ketika masing-masing PTAI bisa mengembangkan produk budaya lokal, maka akan semakin indah Islam di Nusantara yaitu Islam yang adaptif terhadap budaya lokal.

IAIN SURAKARTA DAN PENGEMBANGAN BUDAYA LOKAL SOLO

IAIN Surakarta yang berada di wilayah Kartasura Surakarta sangat strategis karena berada diantara 4 bekas kerajaan, yaitu: Kerajaan Pajang, Kerajaan Mataram Kartasura, Kasunanan Surakarta, dan Mangkunegaran. Dua kerajaan sudah tidak ada tinggal petilasan saja (Pajang dan Kartasura), sedangkan dua kerajaan sisanya masih ada dilihat dari istana maupun peninggalan lainnya.

Dalam pengembangan budaya lokal di perguruan tinggi memang sangat banyak peluang dan tantangannya. Dilihat dari arsitektur peninggalan keraton, tata ruang keraton (komplek dalam, komplek pendukung dan penunjangnya), naskah kuno yang dimiliki, tari-tarian maupun produk budaya lainnya.Dalam konteks IAIN Surakarta bisa mengembangkan kajian filosofi kepemimpinan keraton yang melekat pada raja di dua keraton tersebut, terutama gelar Senopati Ing-Ngalogo Ngabdurahman Sayiddin Panotogomo Khalifatullah. Gelar ini punya 3 dimensi kepemimpinan, yaitu: pemimpin perang, pemimpin agama dan wakil Tuhan di bumi. Disamping itu mengkaji produk tulisan dan karya seni lainnya juga tidak kalah menariknya, Ronggowarsito menulis Serat Jayengbaya, Serat Wirid Hidayatjati, Serat Kalatidha, Serat Jaka Lodhang, dan Serat Sabda Jati. Tokoh ini bisa dikembangkan kajiannya berkaitan dengan ketokohannya maupun karya serat-nya. Tokoh lain adalah Yosodipuro dengan karya Serat Rama, saduran dari Kakawin Ramayana, Serat Bratayuda, saduran dari Kakawin Bharatayuddha, Serat Mintaraga, saduran dari Kakawin Arjuna Wiwaha, serta Serat Arjuna Sasrabahu, saduran dari Kakawin Arjuna Wijaya.

Surakarta memiliki sejarah keagamaan yang kuat, seperti adanya fenomena jaringan ulama dari Kaliyoso – Solo – Kartasura dan sekitarnya. Jaringan Ulama ini ada yang berada di dalam Keraton maupun di luar Keraton (seperti di masjid Kaliyoso “Brang Lor”). Para tokoh Agama ini juga banyak menulis kitab kitab maupun majalah yang beredar di masa silam seperti majalah Hudaya (bertuliskan huruf Jawa berisi kajian Qur’an dan Hadits). Termasuk tokoh ulama kontroversial seperti KH. Misbah yang pro terhadap gerakan sosialis perlu dikaji secara mendalam oleh jurusan/program studi yang berkaitan. Begitupula di Surakarta muncul juga madrasah di masa silam seperti Madrasah Mamba’ul ‘Ulum yang didirikan oleh Keraton Surakarta dan Madrasah Sunniyah didirikan oleh Ulama independen di luar Keraton. Termasuk kemunculan Serikat Dagang Islam oleh Samanhudi perlu dikaji oleh Jurusan Ekonomi Islam. Semua itu perlu dikaji secara mendalam oleh IAIN Surakarta sehingga menjadi centre of excellence kajian wilayah yang berbeda dengan perguruan tinggi sejenis maupun yang berbeda. Semoga.

Referensi:

Wikipedia, dan berbagai sumber dari internet.

By : Muh. Munadi