William Arthur Ward mengatakan ”Guru biasa memberitahu. Guru baik menjelaskan. Guru ulung memperagakan. Guru hebat mengilhami”.

Memang tidak banyak guru yang dapat menjadi guru ulung apalagi guru yang hebat. Sebuah  pencapaian yang sangat sulit dilakukan oleh para guru kita.  Namun perlu direnungkan bersama, untuk mewujudkan seorang guru yang baik saja membutuhkan pengorbanan, apalagi menjadi guru hebat atau guru ulung. Pengorbanan yang tidak hanya bisa dilihat dari sisi materi, tetapi juga pengorbanan secara psychologis.

Tidak jarang kita mendengar ada seorang guru yang harus bekerja sampingan sebagai tukang ojek, sebagai penjaga keamanan, sales, dan sebagainya. Semuanya itu merupakan bagian dari pengorbanan seorang guru secara materi. Mereka secara ikhlas mendidik para siswa, membimbing dan mengarahkan agar menjadi siswa yang lebih baik kualitasnya.

Guru WB dari TK hingga SD

Di tingkat pendidikan pra sekolah dasar (PAUD) dan tingkat pendidikan dasar baik negeri maupun swasta di wilayah Surakarta khususnya masih membutuhkan bantuan dari guru WB. Bahkan perbandingan jumlah antara guru negeri dan swasta juga sangat fantastis. Berdasarkan data tahun 2013, perbandingan guru negeri dan swasta setiap madrasah 1:10, artinya setiap satu guru negeri didampingi oleh 10 guru swasta. Maka tidak mengherankan jika guru WB dari tingkat PAUD sudah merasakan pengorbanan dalam masa kinerjanya.

Dimulai dari guru TK. Hampir semua guru TK berstatus WB. Mereka masuk setiap hari dari jam 7pagi  sampai jam 11. Mendidik 15-20 anak tiap kelas. Sementara karakteristik anak TK sungguh luar biasa. Selama di kelas, tidak jarang anak-anak minta pipis, menangis karena dinakali temannya, berlarian di dalam kelas, bermain sendiri dan banyak lagi yang lain. Semuanya dilayani dengan penuh kasih sayang. Pernahkah kita mendengar berita kekerasan dalam pembelajaran di PAUD? Alhamdulillah, sampai saat ini tidak ada. Hal itu menjadi bukti bahwa guru-guru di PAUD betul-betul mendidik dengan sentuhan kasih sayang yang tulus.

Selama pembelajaran, para guru berusaha menjadikan suasana selalu menyenangkan. Mereka tidak berhenti bernyanyi. Semua kalimat bisa menjadi lagu. Semua kegiatan diawali dengan nyanyian. Mulai dari kegiatan berbaris, ada nyanyiannya. Ketika guru mengucapkan salam, juga dengan nyanyian. Meminta anak-anak duduk yang rapi, juga dengan nyanyian. Membuat anak memperhatikan guru, juga dengan nyanyian. Sampai akhir pembelajaran, penuh dengan nyanyian. Sangat menyenangkan. Melihat bagaimana bentuk kinerja mereka, sejatinya para guru sangat memahami bahwa masa anak-anak adalah masa bermain. Sebagaimana yang ditulis oleh Angle Anning, Joy Cullen, dan Marlyn Fleer (2004)  “good quality play is linked to positive learning outcomes in the cognitive, emotional, social and psycho-motor domain and in the six areas of learning”.

Para guru pun tidak boleh terlihat sedih di depan murid-muridnya, tidak boleh terlihat diam, harus selalu aktif agar dapat mengimbangi mobilitas anak TK yang sangat luar biasa. Meskipun di dalam hati mereka, ada kegelisahan dengan statusnya sebagai guru WB dengan pendapatan yang sangat sedikit. Setiap bulan rata-rata mereka hanya memperoleh penghasilan Rp. 150 ribu. Sementara setiap harinya mereka menggunakan alat transportasi sepeda motor, angkatan umum, dan yang lainnya. Secara kasat mata, penghasilan sebesar Rp. 150 ribu tidak dapat mencukupi kebutuhan setiap bulannya. Akan tetapi semangat mereka sebagai seorang guru TK patut diacungi jempol.

Tidak berbeda dengan guru WB di PAUD, guru WB Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) juga mengalami hal yang serupa. Mereka dituntut masuk kelas dari jam 7 pagi sampai jam 12 siang. Mengampu semua mata pelajaran dari matematika, bahasa Indonesia, IPS, IPA, bahasa Jawa, agama bahkan kesenian. Mereka harus mampu mengajar sekian banyak mata pelajaran. Setiap hari mereka menjelaskan dari pagi hingga siang, dengan siswa yang sama.

Karakteristik anak usia SD memang sedikit berbeda, diantaranya mereka sudah dapat melakukan beberapa kegiatan secara sendiri. Akan tetapi dari segi kemampuan intelektual, bagi anak kelas I relatif sama dengan anak TK. Menurut psikologi perkembangan, karakteristik kemampuan mereka adalah operasional kongkrit. Mereka mau melakukan sesuatu, ketika sesuatu tersebut sudah kongkrit bentuknya. Sehingga suri tauladan dari para guru menjadi prioritas utama.

Meskipun demikian, pelajaran yang diajarkan sudah lebih sulit dibandingkan dengan ketika di PAUD. Di SD, jarang terdengar nyanyian, lebih serius. Maka, tingkat kesulitan guru WB di SD/MI juga berbeda. Para guru bertanggungjawab untuk membantu anak dapat memahami pelajaran dengan baik. Sementara, dalam satu kelas pasti ada saja anak yang memiliki kemampuan berfikir yang lambat. Ditambah lagi, keusilan dan kenakalan anak kelas I juga masih sulit dikendalikan, sehingga guru dituntut memiliki tingkat kesabaran yang sangat tinggi.

Secara finansial, guru WB di SD Negeri maupun di MI swasta masih memprihatinkan. Setiap bulan hanya Rp. 150-200ribu yang dapat mereka peroleh. Beruntung saat ini, ada tunjangan profesi dari pemerintah daerah sehingga dapat menambah penghasilan. Meskipun, tunjangan profesi tersebut baru dapat mereka terima tiga bulan atau enam bulan berikutnya. Mereka membutuhkan uang bensin untuk sepeda motornya, membutuhkan uang untuk bayar angkot, membutuhkan uang untuk menghidupi anak-anaknya. Sungguh sebuah pengorbanan yang sangat luar biasa.

Memang betul, bagi guru WB perempuaan penghasilan setiap bulan yang diperoleh hanyalah sebagai tambahan bagi penghasilan sang suami. Lalu, bagaimana dengan guru WB laki-laki? Dia berstatus sebagai kepala keluarga yang harus menghidupi anak dan istrinya?

Di Surakarta, secara umum penghasilan guru WB di SD Negeri maupun MI Swasta sangat sedikit. Akan tetapi, jika menjadi guru WB di SDIT (SD Islam Terpadu) favorit, para guru dapat memperoleh penghasilan diatas Rp. 600 ribu /bulan. Pastilah, orang akan lebih memilih untuk mengajar di SDIT favorit. Akan tetapi, kualifikasi yang dibutuhkan juga berbeda dengan kualifikasi guru WB SD Negeri dan MI Swasta. Ketika mendaftar sebagai guru di SDIT, biasanya melalui sederetan persyaratan dan tes seleksi. Diantaranya, mempunyai hafalan sekitar 1-2 juz, diuji kemampuan mengajar (tes mikro), diuji pengetahuan umum dan agama (tes tulis) serta wawancara.

Di SDIT, guru dituntut untuk masuk sekolah dari jam 7 pagi hingga jam 4 sore. Mereka juga dituntut lebih kreatif dan inovatif. Mengapa demikian? Sekali lagi bukan hal yang mudah untuk mengantarkan para siswa selalu memberikan perhatian penuh dalam setiap kegiatan, apalagi mengantarkan mereka dari pagi hingga sore hari. Selain itu juga, siswa SDIT juga diberikan beberapa ketrampilan yang tidak diberikan bagi siswa non SDIT, misalnya: hafalan Qur’an sampai tiga juz, pemantapan ekstrakuriler dan sebagainya. Karena itu, tidak mengherankan jika perolehan finansial para guru di SDIT lebih besar dibandingkan guru SD/MI  Negeri atau swasta. Jika para guru diminta untuk memilih, pulang awal honor sedikit atau pulang sore honor banyak?

Satu hal yang pasti, negara Indonesia sangat terbantu dengan adanya guru WB. Karena melalui tangan mereka, pendidikan dapat terlaksana secara lebih maksimal. Tidak dapat dibayangkan jika pelaksanaan pendidikan di tingkat PAUD sampai SD hanya ditangani oleh guru negeri. Sudah dapat dipastikan, pendidikan tidak akan berjalan dengan normal.

Terima kasih guru WB, semangatmu selalu menjadi inspirasi kami semua.

Referensi

Angle Anning, Joy Cullen, dan Marlyn Fleer (2004) Early Childhood Education: Society and Culture

Khuriyah, dkk (2013) Laporan hasil penelitian “Model pembelajaran Berbasis KTSP bagi guru PKn di MI Se Kabupaten Sukoharjo” (tidak dipublikasikan)

 

By : Khuriyah