Kedatangan bulan Muharram dan hari `Âsyûrâ’ merupakan sesuatu yang unik sekaligus misteri bagi sebagian orang, khususnya dalam tradisi masyarakat Jawa. Muharram yang seyogyanya merupakan salah satu di antara nama bulan Islam dan `Âsyûrâ’ adalah hari kesepuluh di bulan tersebut, diyakini memiliki nilai keramat sekaligus mengandung bahaya. Di bulan Muharram, masyarakat seperti ‘alergi’ untuk melaksanakan perkawinan, sunatan dan kebajikan yang terkait dengan kehidupan individual ke depan, karena ada kepercayaan tentang aneka bencana bahkan kesialan akan menimpa siapa saja yang melanggarnya.

Asumsi masyarakat mengenai hal-hal yang berlaku dalam bulan Muharram tidak sepenuhnya keliru walau tak dapat juga kita katakan benar secara keseluruhan. Sebenarnya anggapan seputar Muharram dan `Âsyûrâ’ yang beredar di masyarakat masih dapat kita temukan riwayat-riwayat yang dapat dipahami secara konteks, terutama tentang kebajikan yang terkait dengan kepentingan sosial.

Fenomena antagonis antara bahaya yang menimpa individu dan anjuran berbuat kebajikan sosial di bulan Muharram muncul dari pemahaman parsial terhadap teks-teks keagamaan. Sebab tidaklah mungkin satu kebajikan untuk kepentingan individual seperti perkawinan, sunatan, terlarang di bulan Muharram sementara kebajikan untuk kepentingan sosial tidak terlarang. Anjuran tentang menyantuni anak yatim, menolong fakir miskin dan memperbanyak shadaqah merupakan hal-hal yang sering kita dengar sebagai amalan-amalan utama yang patut bahkan dianjurkan di bulan Muharram. Demikian pemahaman sebagian masyarakat tentang bulan Muharram.

Sebelum jauh membahas akar munculnya pemahaman tersebut, perlu diketahui bahwa Muharram sebagai salah satu di antara 12 bulan Islam memiliki arti yang diharamkan. Sesuatu yang diharamkan memiliki dan mengandung keburukan di dalamnya sehingga tak dapat diterima akal sehat seperti di antara makna kata الحرام (Mu`jam Mufradât al-Fâdz al-Qur’ân). Dalam al-Qur’an, bulan Muharram disebut secara implisit sebagai الشهر الحرام (QS: al-Baqarah;217) atau sebagai salah satu di antara empat bulan yang Allah swt melarang kaum muslimin melakukan peperangan kecuali dalam kondisi terpaksa (QS: al-Taubah;36 dan tafsirannya).

Al-Qur’an memang tidak secara spesifik menyebut bulan Muharram, namun al-Qur’an sebenarnya sedang mengungkap tradisi masyarakat Arab yang diislamkan ketika berbicara mengenai empat bulan yaitu Dzulqa`dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Ternyata dari empat bulan tersebut, Muharram adalah bulan yang paling populer baik di masa Jahiliah maupun setelah Islam hadir. Al-Azraqâ (w. 321 H) menginformasikan penghormatan yang begitu besar dari masyarakat Arab atas empat bulan tersebut, terutama bulan Muharram (Akhbâr Makkah). Dalam berbagai riwayat hadis dapat kita temukan kalau komunitas Arab Jahiliah bahkan Yahudi dan Nashrani juga memiliki suatu tradisi terkait dengan puasa di bulan Muharram, khususnya hari `Âsyurâ’.

Sumber yang ada menyatakan sebelum Islam muncul masyarakat Arab suku Quraisy telah melakukan ritual puasa di hari `Âsyurâ’, karena pada hari itu mereka mengganti kain kiswah Baitullah sebagai bentuk penghormatan mereka pada rumah suci Allah swt tersebut (HR. Bukhârî 194-256 H). Sementara riwayat lain menginformasikan kalau komunitas Yahudi maupun Kristen juga berpuasa di hari ‘Âsyûrâ’ dan memiliki latar belakang alasan yang berbeda dengan masyarakat Arab (HR. Bukhârî dan Muslim w. 261 H). Bagi komunitas Yahudi, puasa di hari `Âsyûrâ’ sebagai realisasi syukur terhadap Allah swt atas selamatnya Nabi Musa as dan bani Israel dari cengkeraman tirani Fir’aun (HR. Muslim). Agaknya kaum Kristiani juga memiliki dasar yang sama dengan Yahudi karena tidak ada riwayat yang menjelaskan alasan mereka dalam hal puasa `Âsyûrâ’, dan disebabkan keselamatan Musa as berikut nubuwwatnya tidak menjadi masalah bagi Kristiani yang menerima Musa as sebagai nabi, sedangkan kaum Yahudi sebaliknya menolak Îsâ al-Masîh as.

Dua riwayat berisi alasan yang berbeda antara suku Quraisy di satu pihak dengan komunitas Yahudi dan Kristen di pihak lainnya mengenai tradisi berpuasa di hari `Âsyûrâ’, menurut Ibn Hajar al-Asqalânî (773-852 H) bahwa kedua riwayat tersebut tidak bertentangan karena adanya kesamaan berpuasa di hari itu antara suku Quraisy dengan Yahudi, tidak berarti memiliki penyebab yang sama. Tidak menutup kemungkinan bahwa suku Quraisy berpuasa karena tradisi Ibrâhîm as yang telah mereka lakukan semenjak dahulu sebagaimana masalah khitan (Fath al-Bârî, IV, 775). Sebab pada awalnya masyarakat Arab khususnya sekitar daerah Hijâz yaitu Mekkah, Madinah, Thâ’if, Khaibar dan Wâdî al-Qurâ’ mengikuti agama Ibrâhîm as, lalu terjadi distorsi ajaran sampai datang Nabi Muhammad saw.

Menarik untuk diperhatikan bahwa semua riwayat yang menyatakan alasan-alasan dari suku Quraisy maupun Yahudi dan Kristen melakukan ritual puasa di hari `Âsyûrâ’ bulan Muharram, bukan atas adasar perintah atau adanya nash agama. Tradisi seperti ini kemudian diadopsi Islam dengan alasan yang sama mengenai Musa as seperti tertulis dalam riwayat al-Bukhârî (Shahîh al-Bukhârî, I, 416, no hadis 2004). Dengan demikian, tidak keliru jika dinyatakan bahwa puasa `Âsyûrâ’ adalah tradisi yang muncul disebabkan adanya ‘pengkultusan’ sebagian umat manusia tentang kesucian suatu tempat dan benda (Ka`bah) dan kesucian individual Musa as dengan tugasnya. Lebih unik bahwa pengkultusan tersebut justeru mendapat legalisasi melalui risalah sang Nabi suci saw.

Jika `Âsyûrâ’ dianggap sebagai puncak ritual di bulan Muharram, maka bulan Muharram sendiri merupakan tangga untuk mencapai puncak tersebut. Terdapat larangan berperang di bulan Muharram sebagai salah satu makna dari ritual puncak `Âsyûrâ’ yaitu puasa yang secara bahasa adalah menahan (al-Majmû` Syarh al-Muhadzzab). Menahan untuk tidak melakukan perang dan mungkin pula aneka kejahatan di bulan Muharram. Sebagaimana `Âsyûrâ’, penghormatan pada bulan Muharram juga diawali dengan tradisi masyarakat Arab yang mengagungkan bulan tersebut. Tetapi tidak semua tradisi dijadikan bagian dari ajaran Islam.

Terdapat beberapa peristiwa yang terjadi dalam sejarah umat manusia dan sering dikaitkan dengan keistimewaan bulan Muharram dan hari `Âsyûrâ’, seperti kisah terdamparnya Nûh as di bukit Jûdi setelah terapung sekian lama di atas bahtera akibat banjir besar, taubat Adam as diterima, kelahiran Ibrâhîm as dan `Isâ as (al-Firdaus bi Ma’tsûr al-Khitâb), selamatnya Ibrâhîm dari api Namrûj, keluarnya Yunus as dari perut ikan dan sebagainya dan pengorbanan manusia-manusia suci tersebut serta keberhasilan mereka merubah masyarakat menuju ke gerbang kebajikan merupakan alasan paling trasedental mengenai puasa `Âsyûrâ’. Kesuksesan para Nabi as tersebut yang mempengaruhi masyarakat mereka dengan dakwahnya adalah contoh dari kebajikan sekaligus kesuksesan bernuansa sosial, demikian pula jasa Adam as melalui taubatnya, maka keturunannya memperoleh keluasaan rahmat dan pengampunan Allah swt.

Ilustrasi keberhasilan sosial di atas mungkin dapat menjawab kenapa bulan Muharram dan hari `Âsyûrâ’ syarat dengan anjuran-anjuran kebajikan sosial sementara kebajikan terkait kepentingan individu seperti perkawinan, khitanan justeru menjadi semacam larangan yang pada hakikatnya tidak berdasar, atau paling tidak keberhasilan para Nabi as itu menjadi acuan utama bagi sebagian masyarakat mengaitkan dengan kebajikan bernuansa sosial, menyantuni anak yatim dan sebagainya.

Dalam perjalanan seorang tokoh, menggapai suatu keberhasilan tentu tidak semuanya berjalan dengan baik dan mulus, akan banyak rintangan dan pada akhirnya dapat berhasil melewati rintangan tersebut jika mereka yang bertemu rintangan itu sabar dan penuh perhitungan. Tapi perlu diingat bahwa keberhasilan tidak hanya dipahami sebagai perolehan kesuksesan saat orang yang berusaha itu masih hidup, namun akibat usahanya tersebut terjadi perubahan sosial yang luar biasa meskipun orang tersebut telah tiada, bahkan menjadi martir dari perubahan tersebut. Konteks inilah yang Husein bin Ali kw pilih saat ia harus syâhid di Karbala pada hari `Âsyûra 10 Muharram 61 H, dengan gagah berani sang pemuda surga itu berhadapan tanpa takut pada diktator Yazîd bin Mu`âwiyah (w. 62 H) dan panglimanya Ziyâd bi Abîhi walau Husein harus merelakan kepalanya sebagai taruhan (al-Kâmil fî al-Târîkh).

Jalan yang Husein as lalui memiliki karakter tersendiri, karakter jalan para Nabi as saat menghadapi para diktator, tirani, dan pembela status quo. Jalan nabi Ibrahim as berhadapan dengan Namrûj, nabi Musa as berseteru dengan Fir’aun dan sang Nabi suci saw menghentikan langkah Abû Jahal. Jalan yang Husein tempuh dari aspek moril kemanusian bahkan mengikhlaskan nyawanya melayang untuk mengembalikan khîlafah pada poros kenabian. Alas an ini agaknya yang mendorong sekte Syi`ah secara umum, terutama Imâmiyyah memiliki pandangan lain tentang pengorbanan Husein as dan karena itu `Âsyûra’ menjadi ritual yang sangat unik dalam mazhab tersebut, bahkan kadang kala terlihat antagonis karena sebagian pengikut Syi`ah tak segan-segan melukai tubuh mereka di hari `Âsyûra’. Dalam budaya Jawa Banten dan bebeapa wilayah nusantara ungkapan pengorbanan Husein Nampak pada adanya Dabbus (semacam kuda lumping di Jawa). Selain itu, tradisi membuat bubur merah dan putih pada hari `Âsyûra’ di sebagian masyarakat Jawa merupakan ungkapan keberhasilan para nabi suci bersama Husein dengan pengorbanan Husein.

Mungkin termasuk hal unik lain mengenai `Âsyûra’ adalah tradisi puasa yang dijalankan beberapa komunitas agama, Yahudi, Kristen, Penyembah Berhala masa lalu dan Islam. Nabi saw saat menemui komunitas Yahudi Madinah dan mengetahui mereka berpuasa pada hari `Âsyûra’ dan bersama Kristen mereka mengangungkan hari tersebut, maka Nabi saw menginstruksikan umatnya agar berpuasa di hari tersebut, karena kaum Muslim menurut Nabi suci saw lebih pantas merayakan keberhasilan Musa as (HR. Bukhârî). Ternyata Nabi saw tak sekedar menganjurkan umatnya puasa di hari Âsyûrâ’ tetapi juga agar berpuasa pada hari Tâ`sûâ` ;hari ke 9 di bulan Muharram seperti dalam riwayat Muslim (Shâhîh Muslim, no. hadis 1916).

Pelajaran yang dapat diambil dari keinginan Nabi saw agar kaum Muslim berbeda dengan komunitas agama lain dalam hal berbuat kebajikan, termasuk dalam puasa `Âsyûrâ’. Pelajaran penting lainnya adalah kaum Muslim memiliki semangat untuk berinprovisasi dengan memiliki ciri khas tersendiri sebagai umat. Menurut penulis, semua hadis terkait dengan permintaan Nabi saw agar kaum Muslim berbeda dengan komunitas agama lain tidak harus dipahami secara teks, namun pemahaman kontekstual yang menganjurkan kaum Muslim memiliki ciri khas, dengan ciri yang berbeda itu mengarahkan agar kaum Muslim membudayakan kebajikan dengan ciri khusus yang diharapkan bisa menjadi peradaban mennonjol diikuti umat lain dan bukan yang selama ini terjadi Muslim cenderung mengikuti umat lain.

By : Dr. Ja`far Assagaf, MA.