Lebaran Sekarang, Ku Hanya Titip Salam

oleh: Irwan Rohardiyanto

 

Lebaran Sekarang… Ku hanya titip salam…

Karena ku tak mampu pulang… Ke kampung halaman…

Gara-gara covid si**an… Rencanaku berantakan…

Akhirnya lebaran sekarang… Tinggallah kenangan…

 

Sedih tak terkira, timbul pro dan kontra dalam jiwa raga…. Penggalan lirik lagu Mudik tahun 90-an itu akhirnya terrefleksi saat ini. Satu kata untuk akhir Ramadhan ini, yaitu luar biasa. Ya, memang di luar kebiasaan. Membutuhkan tenaga ekstra untuk menapaki bulan Syawal, untuk menata hati menahan diri bersua Mom dan Dad di desa. Segalanya berubah, semua karena korona.

Pentingnya Tindak Lokusi dan Ilokusi

Meskipun momentum penuh kebahagaian ini belum bisa direalisasikan dalam tempo sesingkat-singkatnya, namun masih ada beberapa alternatif solusi yang insyaAllah bisa direalisasikan. Penggunaan media elektronik sebagai salah satu jawabannya. Ya, lebaran digital selaras dengan era disrupsi ini. Komunitas sosial sudah difasilitasi kemudahan dari berbagai aplikasi gratis maupun berbayar untuk mensyukuri hari nan Fitri.

Kehangatan berlebaran bersama keluarga besar di desa secara fisik harus dibatasi. Yang krusial yaitu proses encoding berbagai ide, pesan bisa ter-decoding oleh mitra tutur. Inilah inti dari rasa mensyukuri lebaran, yaitu komunikasi yang lancar dengan berbagai keterbatasan. Dalam kajian kebahasaan, terdapat teori tindak tutur. Tindak tutur yang berupa tindak lokusi yaitu berupa ujaran yang diucapkan oleh penutur. Tindak lokusi dalam lebaran pada umumnya ucapan permohonan maaf kepada mitra tutur. Sedangkan tindak ilokusi yaitu bertujuan apology (permintaan maaf). Inilah fungsi utama dari tuturan, yaitu menunjukkan tindak lokusi dan menangkap fungsi tindak ilokusi. Dengan harapan, tindak perlokusi tercipta dari mitra tutur yang bisa memahami dan merespon dengan baik.

 Gagalnya Tindak Perlokusi

Hanya saja, kekuatan ujaran terkadang tidak terrekam dan terrespon secara baik oleh mitra tutur. Beberapa contoh kegagalan tindak perlokusi bisa dilihat di negara 62+ akhir-akhir ini. Sebagai misal, pemerintah sudah menghimbau agar masyarakat memperhatikan protokol kesehatan, namun dalam prakteknya banyak individu atau mitra tutur yang tidak mengindahkan himbauan tersebut. Sehingga pesan atau code yang berasal dari tindak lokusi pemerintah tidak berdampak maksimal terhadap mitra tutur, inilah indikator kurang maksimalnya tindak perlokusi.

Terkadang, apabila encoding itu dirasa gagal, bisa jadi mengganti pola pikir mitra tutur atau  pendengar dengan pembalikan informasi yang sebenarnya. Dengan pemberian informasi yang bertolak belakang dengan fakta sebenarnya, diharapkan bisa mendapatkan perhatian mitra tutur. Dalam bahasa Jawa terdapat rucita nglulu atau dilulu yang bisa didefinisikan sebagai informasi/ pengumuman/ penghargaan yang bisa berfungsi sebagai sindiran.

Terdapat beberapa contoh rucita nglulu dalam kehidupan sehari-hari yang barangkali bisa diterapkan oleh pemerintah agar bisa memperoleh tindak perlokusi yang maksimal dari mitra tutur. Terlepas dari isu KLB (kejadian luar biasa), berikut contoh informasi yang bertentangan dengan maksud penutur, tetapi bisa mendapat perhatian mitra tutur, yaitu: didepan sebuah rumah makan terdapat tulisan ‘Jangan Menengok Kiri’. Dari pesan tersebut, pengendara atau mitra tutur dengan spontan melanggar isi pesan dan mereka melihat ke sisi kiri yang ada rumah makan tersebut. Contoh lain, dalam sebuah baliho di jalan raya yang dibuat oleh rumah kecantikan, terdapat tulisan besar berbunyi ‘Kami menghimbau anda untuk tidak melihat tulisan ini’. Tanpa disadari, para pengendara, pembaca serta mitra tutur penasaran dan tertarik dengan apa maksud tulisan baliho tersebut dan berusaha untuk mencari siapa yang menulis himbauan itu. Terbukti, dengan memutar balikkan fakta dari sebuah informasi, bisa memperoleh respon yang baik dari mitra tutur. Apakah pemerintah perlu membuat himbauan dengan memutar balikkan fakta? Itu bisa dijadikan bahan kajian para ahli bahasa dan komunikasi publik.

Kekayaan Morfologis dan Semantis bertambah

Meskipun dalam keadaan yang serba miskin silaturahmi ini, masyarakat tutur juga memperoleh banyak informasi baru dalam dunia kesehatan masyarakat. Banyak rucita baru yang diperoleh secara masif dan gratis oleh berbagai lapis masyarakat. Masyarakat tutur memperoleh hasil dari proses morfologis yang menambah khasanah kekayaan rucita mereka. Masyarakat jadi paham tentang sense lockdown yang didramatisasi menjadi lauk daun. Masyarakat memperoleh banyak reference baru dari alfabetisasi WFH/ BDR, PCR, PDP, ODP, PSBB, BLT dan lain sebagainya. Masyarakat juga memperoleh proses akronim seperti COVID, Gugas, dan lain sebagainya. Masyarakat memperoleh rucita hand sanitizer yang kadang diucapkan menjadi ‘hensezer’, ‘hentezer’ atau ‘henzer’. Jomblowan dan jomblowati pun mengkreasi rucita ODP menjadi Ora Duwe Pasangan (tidak punya pasangan) dan rucita PDP menjadi Pernah Dianggap Pacar.

Komunikasi dianggap ideal apabila pesan tersampaikan kepada mitra tutur. Tindak tutur yang berupa kekuatan dari sebuah ujaran dianggap berhasil apabila terdapat tindak perlokusi sesuai ekspektasi. Tindak perlokusi tersebut harus dimiliki oleh segenap masyarakat tutur dengan melakukan cara sederhana yaitu memulai dari hal yang kecil, memulai dari diri sendiri dan memulai dari sekarang. Kalau hal sederhana itu benar-benar dilaksanakan, insyaAllah lebaran mendatang tidak hanya kirim salam, tetapi juga bisa salaman. Semoga.

–Penghujung Ramadhan 1441 H–

(Irwan/WMM/MSI)