Oleh: Retma Ayu Ningtyas – Mahasiswa S1 IAIN Surakarta

Sungguh, tidak bosannya saya membaca komentar para netizen di berbagai lini masa terlebih lagi dunia maya. Dari mulai mengomentari postingan yang biasa saja sampai topic sensitive yaitu isu SARA (Suku, Agama, Ras Antar Golongan). Dari mulai komenan di Instagram, twitter, facebook hingga group Whatsapp keluarga. Yang menarik perhatian adalah mereka yang berkomentar disertai pembelaan pribadi, seperti ‘Valentine bukan budaya kita. Hari Valentine itu cuma ajang melegalkan zina’.

Saya mendadak istighfar membaca komentar tersebut, karena sampai bawa-bawa zina segala. Padahal, banyak teman sepermainan saya yang pegangan tangan sama pacar saja tidak berani, apalagi sampai melakukan zina. Duh, seakan-akan tindakan zina itu hanya di hari valentine saja tapi di hari lain tidak, duh.

Perdebatan diruang media sosial terkait mana yang budaya kita mana yang bukan tentunya perlu penelitian lebih mendalam. Ada kubu yang pro dan ada kubu yang kontra. Itu sah sah saja, tidak ada yang bisa membenarkan satu sama lain. Sudah seyogyanya, perdebatan mana budaya kita dan bukan itu direduksi menjadi sesuatu yang lebih mengedepankan misi Indonesia sebagai Negara yang open minded.

Mengapa seolah-olah budaya yang katanya ‘budaya kita’ itu menjadi pembenaran paling mutlak atas segala hal? Apakah budaya kita adalah budaya yang tidak menghargai pendapat orang lain? Saya pikir tidak. Sungguh, kebebasan berpendapat dimuka umum dijamin dalam undang-ndang tepatnya Undang-Undangan Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Apakah budaya kita adalah ketika kita diam saja saat ditindas? Saya rasa tidak, karena ingat dulu bahkan sejak Indonesia belum merdeka banyak kaum muda seperti Bung Hatta dan Bung Karno serta organisasi pemuda menyuarakan pembebasan dari penjajahan saat kita ditindas.

Lantas, mengapa sekarang orang getol sekali mengkotak-kotakan mana budaya kita atau bukan? Ketika, Amerika Serikat sedang giat-giatnya meneliti teknologi AI (Artificial Intelligence), kita sendiri sebagai bangsa yang masih muda terus memperdebatkan hal yang merusak rasa kekeluargaan.

Budaya kita adalah budaya yang terbentuk dari ratusan tahun yang lalu. Budaya kita adalah keramah-tamahan. Tentu, kita ingat bahwa sejak para pelancong Eropa datang ke negeri ini niat awal mereka adalah untuk mencari rempah-rempah. Dan orang Indonesia sendiri, menyambutnya dengan senyum hangat. Hal itu menandakan bahwa orang Indonesia itu mau menerima kebaruan.

Jadi, bagi kalian yang mengatakan bahwa “Valentine bukan budaya kita, tapi menjadi hari pelegalan zina” maka sudah jelas bahwa kalian cenderung ingin menghina bukannya menasehati. Maka, buatlah nasihat yang lebih manusiawi. Saya tidak mencoba untuk membela tapi hari valentine adalah hari dimana para pedagang coklat itu mendapatkan untung yang besar karena coklat dagangannya laris. Pun, pedagang boneka pula mendapatkan untung berlimpah karena hadiah yang diberikan pada pasangannya masing-masing.

Masalahnya, masyarakat Indonesia itu senang sekali mencampuradukkan urusan agama dengan urusan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan berunding. Dengan karakteristik, masyarakat kita yang lebih banyak takut dengan ‘dosa’, sudah barang tentu ceramah-ceramah di youtube yang memprovokasi tentang pelegalan zina itu lebih laku. Masyarakat kita masih lekat pikirannya mengenai surga neraka. Pastinya pula, para penikmat ceramah itu tanpa sadar pula menyumbangkan beberapa like sedang di sisi lain, para pengisi ceramah itu mendapatkan pundi-pundi uang dari adsense.

Tidak pernah dibenarkan jika budaya Indonesia itu menyakiti orang lain, menghina pekerjaan orang lain dan merasa benar sendiri. Nenek moyang kita telah mengajari kita bahwa menyakiti orang lain itu tidak boleh dilakukan karena yang pertama dilarang agama, yang kedua karena sejak dulu orang Indonesia itu ngalahan, terbukti bahwa dijajah Belanda 3 abad mereka diam saja. Namun, mereka pantas membalas perlakuan yang sudah tidak manusiawi tatkala perlakuan penjajah menjadi lebih bar bar. Nah, itu baru boleh dilakukan karena tidak sesuai asas kemanusiaan.

Heran saya, dengan mengkotak-kotakan mana budaya kita atau bukan budaya kita itu semakin menunjukkan bahwa beberapa kelompok cenderung eksklusif dan tidak mau menerima perubahan zaman. Sudah, seharusnya di era keterbukaan informasi  ini menjadi manusia yang lebih bijak dan cerdas itu menjadi kunci utama. Ketika Indonesia memutuskan untuk ikut bergabung di forum-forum internasional, Indonesia telah beriktikad untuk membuka diri terhadap dunia. Jika, Indonesia tidak melakukan hal tersebut jangan salahkan presiden jika sampai sekarang anda tidak bisa memanfaatkan akses perangkat elektronik dan akses internet.

Beberapa kelompok yang mengatakan ‘budaya kita’ inilah, itulah juga melihat dalam permasalahan yang terlalu kecil. Pembangunan infrastruktur dimana-mana adalah bukti kecil pemerintah yang mulai lebih lunak terhadap perubahan zaman. Pemakaian telepon seluler (HP) didalam kelas membuktikan bahwa penyelenggara pendidikan tidak lagi melihat dari sisi negatif penggunaan HP tapi mencoba memandang dari segi positif, bahwa HP bisa menjadi alat untuk browsing atau berselancar internet jika sekolah tidak menyediakan komputer.

Jadi, budaya kita itu sebetulnya sangat ramah dan fleksibel terhadap segala jenis perubahan. Karena, ini menjadi modal untuk menyongsong masa depan yang lebih cerah. Buat kamu, yang mengatakan ‘budaya kita’ seharusnya A, maka jangan pernah mencantumkan ‘kita’ karena seyogyanya itu pemahamanmu pribadi saja bukan pemahaman saya dan kawan-kawan lain yang tidak sepaham denganmu pula.

Sumber: https://www.mindset.id/perdebatan-antara-budaya-kita-dan-bukan-budaya-kita/