Selasa, (12/05) Prodi Tadris Bahasa Indonesia menyelenggarakan sayuk rembuk bahasa di era disruptif. Meski dilakukan secara daring melalui aplikasi Instagram, namun tidak menurunkan antusias peserta untuk mengikuti diskusi. Hal tersebut ditunjukkan dari total partisipan yang mencapai angka 250. Dari jumlah tersebut, tidak hanya didominasi oleh mahasiswa IAIN, akan tetapi juga berbagai mahasiswa lintas kampus. Kegiatan sayuk rembuk bahasa yang dipandu oleh Iqbal Syahrul Akbar Al-Aziz ini, mengundang narasumber dari dosen Prodi TBI, yakni Elen Inderasari, S.Pd., M.Pd. Nama beliau tentu sudah tidak asing lagi bagi mahasiswa TBI. Sebagai dosen yang fokus dalam perkembangan ilmu bahasa, khususnya sosiolinguistik. Maka tema Estetika da Etika Bahasa di Era Disruptif menjadi hal yang menarik untuk didiskusikan. Selain sebagai forum diskusi mengenai bahasa, kegiatan ini dilakukan sebagai upaya sosialisasi Prodi TBI IAIN Surakarta sebagai prodi unggul di PTKIN.

Estetika dan Etika Bahasa Medsos
Fenomena bahasa menjadi perbincangan hangat di kala media sedang marak-maraknya menyebarkan informasi Covid-19. Terlebih setelah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional. Kondisi tersebut ternyata berimplikasi terhadap lahirnya ekspresi-ekspresi berbahasa baru akibat persentuhan bahasa, masyarakat, dan teknologi baru. Disrupsi yang disebabkan virus Covid-19 dimulai ketika pemerintah di berbagai negara mulai menerapkan kebijakan lockdown dengan kerja dan belajar dari rumah yang mendorong masyarakat menggunakan teknologi telekonferensi untuk menggantikan pertemuan tatap muka. Teknologi telah membuat komunikasi antara penutur dan mitra tutur mengalami sejumlah penyesuaian. Bahasa yang digunakan pun mengalami perubahan.
Menanggapi kondisi tersebut, Elen Inderasari selaku narasumber menyampaikan bahwa perubahan paling mendasar dalam komunikasi jarak jauh adalah hilangnya estetika dan etika peran tubuh secara aktual. Dalam komunikasi tradisional estetika dan etika tubuh adalah pembawa pesan sekaligus pesan itu sendiri. Keberadaan tubuh bukan hanya menegaskan pesan verbal, melainkan menjadi unsur yang mampu memperkuat, melemahkan, bahkan menegaskan keberadaan pesan. Tubuh virtual yang dihadirkan melalui gambar atau video tidak mampu menggantikan peran tubuh aktual. Peran tubuh yang dulu sangat dominan kini terus direduksi. Untuk menggantikannya, teknologi menyediakan aneka fitur sifatnya estetika seperti emotikon, emoji, stiker, dan sejenisnya. Namun fitur-fitur itu pun tidak dapat menggantikan tubuh. Kehadirannya justru menjadi instrumen baru yang mengubah aturan-aturan percakapan konfensional.
Ketidakhadiran estetika dan etika peran tubuh dalam komunikasi tergantikan oleh media teknologi ternyata membawa dampak negatif. Dampak negatif salah satunya kesantunan berbahasa. Orang mulai melupakan peran kesantunan dalam berkomunikasi, sikap santun hanya dimunculkan dalam keterbatasan wujud bahasa tulis. Misa lorang berkomunikasi tatap muka, saat menyampaikan kata setuju/iya intonasi penyampaiannya pun akan beragam, bisa bernada datar, tinggi, atau sedang. Dari gerak tubuh yang menyertai iya seperti anggukan kepala, tundukan, senyum, atau cemberut. Piranti komunikasi dalam ilmu pragmatik seperti itu tidak bisa kita temukan dalam komunikasi tulis melalui media teknologi. Disinilah estetika bahasa mulai lepas sebagai bahasa pengantar dan pengikat budaya.
Perubahan gaya hidup akibat persebaran Covid-19 juga membuat masyarakat mempertanyakan jargon-jargon lama. Hal ini membuat persebaran Covid-19 juga memengaruhi aspek semantik bahasa. Misalnya, pertama kali dalam sejarah jargon Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh dievaluasi menjadi Bersatu kita runtuh, bercerai kita teguh. Meski dikemas sebagai humor, gejala ini menunjukkan bahwa pandemi ini memiliki implikasi terhadap perubahan makna tuturan. Bahasa kesehatan jargonya: kami berjuang untuk kalian, kalian berjuang di rumah untuk kami. Ada pula dalam bahasa bisnis pada iklan garuda food Ga mudik, walau sulit demi sehat, pada iklan Gerry salut Beri salut pada gak mudik, penting sehat. Bahkan kemunculan pula berbagai istilah register bahasa terjadi di era pandemi lockdown, social distancing atau pembatasan sosial, Pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pemantauan (ODP), Orang tanpa gejala (OTG), Isolasi dan karantina, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), mudik dan pulang kampung. Hubungan antara bahasa, masyarakat, dan teknologi baru itu mulai dikaji secara serius dan terus menerus sesuai dengan kebutuhan yang sedang terjadi.
”Saat membaca sebuah ulasan singkat dari tulisan Prof. Fathur Rokhman pakar Sosiolinguistik tentang peluncuran buku terbaru terkait hal ini, maka lahirlah sebuah subdisiplin baru bernama Linguistik Disruptif. Subdisiplin ini sangat penting keterkaitan ilmu linguistik, semantik, sosiolinguistik, pragmatik dan teknologi adalah keterjalinan entitas yang nyaris tidak terpisahkan saat ini. Kajian berbasis linguistik disruptif menunjukkan bahwa peran alat (instrument) berbahasa semakin dominan dalam komunikasi jarak jauh. Tegas Elen Inderasari

Antisipasi pada Gejolak Perubahan Bahasa
Pada masa karantina akibat covid-19 seperti sekarang, penggunaan daring cenderung meningkat. Intensitas penggunaan daring ternyata juga dapat menimbulkan perubahan bahasa. Ketika kebiasaan itu dibawa pada komunikasi luring dapat menyebabkan standar kesantunan menurun. Kondisi demikian menunjukkan bahwa teknologi-teknologi baru memiliki implikasi luas terhadap bahasa masyarakat. Teknologi bukan hanya mengubah bentuk ekspresi berbahasa, melainkan juga menggeser nilai-nilai dan aturan dasarnya. Gejolak itu perlu diantisipasi dengan menetapkan batas toleransi sejauh apa teknologi dapat dibiarkan mengubah perilaku berbahasa manusia. Sejauh berkaitan dengan cara estetika dan etika berbahasa, sehingga batasan longgarpun masih dalam kontrol sosial. Teknologi dapat digunakan seoptimal mungkin sebagai inspirasi dalam mengembangkan keterampilan berbahasa. Semakin kreatif dan bervariasi akan semakin baik. Namun batas yang ketat harus ditetapkan jika berkaitan dengan nilai-nilai dasar masyarakat dan kemanusiaan. Kerukunan, saling menghormati, dan kasih sayang adalah nilai-nilai yang terlalu berharga jika dilangkahi oleh perkembangan teknologi.
Pada akhir diskusi, narasumber memberikan pesan bijak bagi peserta sayuk rembuk bahasa “Betapa pun teknologi mengubah bahasa masyarakat, perubahan itu tidak boleh sampai menegasikan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Tetap berpegang teguh dengan semboyan, kuasai bahasa asing, utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah.”

(Tiya Agustina/WM/MSI)