Agama mengajarkan bagaimana mengenal Allah (ma’rifatullah). Mengenal Allah berarti berlaku dengan akhlak (yang baik). Akhlak (yang baik) merupakan representasi dari tali kasih sayang (silaturrahim), dan silaturahim adalah memasukkan rasa bahagia di hati saudara (sesama) kita.” Demikianlah kira-kira rangkaian hadis yang dijalin oleh Syaikh Yusuf Makassari, yang saya kutip dari bukunya Haidar Bagir (2019) berjudul Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan.

Sebait kalimat itu, tampak indah, sarat makna tentang bagaimana cara hidup seorang manusia beragama sebagai makhluk sosial. Kalau kita lihat, dari sebuah kalimat “rasa bahagia” dengan hati yang sadar, maka kita dapat membayangkan, bahwa hakikatnya manusia ketika ia memeluk sebuah agama ialah berorientasi kepada saling membahagiaakan antar sesama makhluk.

Namun demikian, makna atas kebahagiaan sunguh tidak sedikit variannya, tinggal perspektif masing-masing diri untuk melihatnya. Oleh sebab itu, melalui tulisan ini, mari melihat kembali apa makna bahagia itu, bagaimana melahirkan kebahagiaan, lalu, apakah seluruh makhluk berhak mendapatkan kebahagiaan. Tidak lain, ini demi lahirnya kejernihan atas makna kebahagiaan dalam berkehidupan.

Sebab, sebuah kebahagiaan menjadi perihal yang sangat penting bagi setiap orang yang ada di muka bumi ini. Kita boleh sangat sepakat dengan apa yang telah diungkapkan oleh seorang pakar tasawuf sekaligus pendiri Mizan Group itu, Haidar Bagir, bahwa kebahagiaan (sa’adah) mewakili tujuan tertinggi umat manusia selama penugasan mereka di dunia. Selain itu, juga sebagai bukti atas keberadaan manusia (penciptaan).

Irama Kehidupan

Menurut Endrik (2016) bahwa kita sebagai manusia harus tetap menikmati proses kehidupan yang ada. Menyadari kondisi dunia yang penuh kenikmatan, banyak pilihan, penuh rupa dan banyak warna. Semua itu bercampur baur dengan kecemasan dan kesulitan hidup, kebahagiaan dan kegelisahan, keraguan dan keyakinan. Ini artinya, kehidupan penuh dengan warna yang boleh jadi itu dapat membuat kehidupan makin menarik dan indah. Namun, di sisi lain, setiap insan tetap harus menikmati seluruh irama, warna kehidupan yang ada, harus tetap melangkah, menyadari dan meyakini bahwa irama yang hadir di setiap hari akan selalu berubah. Terus berusaha mencoba menikmati, mewarnai dengan warna-warna yang indah.

Mungkin saja saat ini, detik ini, ia akan menikmati irama-irama yang begitu nyaring atau sumbang. Dan esuk belum tentu ia akan menikmati irama yang sama. Setiap diri harus tetap berupaya memadamkan panasnya keburukan pada setiap hal dan bagian-bagian itu dengan menyiramkan kebaikan-kebaikan kepadanya. Mengambil hikmah dari setiap kejadian-kejadian.

Kalau kita sadari betul, bahwa di dunia ini ada dua hal yang bertentangan atau berseberangan. Kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesedihan, tantangan dan hambatan. Maka ketika perbedaan itu jelas, maka menjadi sebuah pilihan yang bijak manakal kita memberikan kesempatan kepada orang-orang di sekitar untuk ikut menikmati irama kehidupan yang telah kita rasakan. Menumbuhkan empati diri sehingga dapat melahirkan senyuman pada diri orang lain.

Makna Bahagia

Al-Ghazali pernah menjelaskan tentang makna kebahagiaan, menurutnya, bahwa orang yang memiliki kebahagiaan adalah manusia yang telah terbuka hijabnya/satir terhadap Allah, sehingga ia merasa dirinya terkontrol oleh Allah di mana pun dan kapanpun. Ia juga meyakini bahwa kebahagiaan hanya bisa dicapai serta dapat  dirasakan ketika manusia telah mampu melawan dan menundukkan nafsu pada dirinya.

Selaras dengan beliau, Haidar Bagir pun meyakinkan bahwa, kebahagiaan tidak sama dengan kumpulan kenikmatan (Pleasure). Kebahagiaan juga bukan berarti ketiadaan kesulitan atau penderitaan. Dua kalimat yang telah disampaikan di atas saya pribadi teramat setuju. Bagaimana tidak. Karena memang, mungkin saja hidup seseorang dipenuhi dengan kenikmatan, gelimang harta yang tiada tandingnya, dapat membeli apapun dengan leluasa yang boleh jadi orang lain belum dapat membelinya. Ingin ke mana tinggal pergi dan tak memikirkan biaya. Seperti potretnya Indra Kenz dan Doni Salmanan itu misalnya. Yang pada sesungguhnya, saya pribadi tidak meyakini dengan sungguh, bahwa mereka benar-benar mendapat kebahagiaan.

Sebaliknya, boleh jadi penderitaan selalu datang silih berganti, tetapi kesemuanya itu tak merusak keberadaan kebahagiaan. Tampak oleh mata sebagian orang ada yang kurang mampu, ia harus menabung terlebih dahulu untuk membeli keinginannya, rela mengorbankan barang tertentu untuk dijual untuk kemudian dapat membeli barang lain yang diinginkan. Hal yang yang demikian saya kira banyak di kehidupan kita. Tapi sekali lagi, mereka boleh jadi justru lebih bahagia dari yang bergelimang harta. Hal ini, Haidar Bagir menyebutnya sebagai underlying happiness (kebahagiaan yang senantiasa melambari) hidupnya.

Melalui fundamen underlying happiness, kata beliau, bahwa apa saja yang dilihat, yang terjadi di permukaan hidup kita akan masuk ke hati sebagai sesuatu yang memberi makna positif epada diri kita, menentramkan, dan membahagiakan. Dapat saja saat ini kita sedang tertimpa kesulitan dan kesedihan, tetapi keyakinan bahwa kehidupan kita bersifat baik, positif, dan menyejahterakan tak akan terganggu karenanya.

Dalam bukunya Syamsul Bakri (2009), seorang Guru Besar UIN Raden Mas Said, beliau menejelaskan bahwa, Manusia merupakan makhluk unggul sehingga ditakdirkan menjadi khalifah fil ardh (wakil dan pengatur bumi) karena hardware-hardware yang dimilikinya melebihi makhluk lain. Di samping memiliki potensi untuk dapat melakukan evolusi fisik (dengan pengetahuan dan teknologi), manusia juga dikaruniai oleh Allah Swt. Potensi-potensi untuk melakukan evolusi spiritual (dengan olah spiritual). Evolusi spiritual yang dilakukan manusia akan dapat mengubah dirinya menjadi makhluk yang unggul dan sempurna (al-insan al-kamil) karena dapat naik ke jenjang yang tidak dapat dinaiki makhluk lain.

Apa telah disampaikan beliau saya sangat setuju, sebab dengan cara itu manusia akan mencapai dan menemukan kebahagiaannya, dengan cara menyatu dengan Tuhannya. Kebahagiaan sepenuhnya bersifat spiritual. Kebahagiaan bersifat intrinsik, ada di dalam hati kita. Maka, puncaknya kebahagiaan maupun kesengsaraan sesungguhnya adalah produk dari persepsi. Dan kebahagiaan ini lah merupakan prinsip kehidupan manusia. Sehingga harus kita jernihkan dengan pikiran kita sendiri.