Oleh : Rojif Mualim M.Pd

Seperti kita ketahui bersama, bahwa semua agama pasti mengajarkan keadilan tanpa terkecuali termasuk itu agama Islam. Di dalam ajaran agama Islam sendiri, laki-laki dan perempan sebenarnya dipandang tidak berbeda. Maksudnya, mereka mempunyai derajat dan martabat kemanusiaan yang sama.

Di dalam Al-Qur’an pun telah ditegaskan, bahwa orang yang paling muliakan di sisi Allah hanyalah mereka yang bertakwa kepada-Nya. Ini artinya, bahwa sariat Islam dengan tegas sama sekali tidak memandang perempuan sebagai jenis manusia kelas dua atau di bawah laki-laki, tetapi keduanya dilihat oleh syariat Islam adalah makhluk yang sama.

Tetapi apa yang kita lihat kini, faktanya perempuan masih dalam nasib dicengkram budaya patriarki yang amat menjijikkan. Ketidakadilan, ketertindasan kerapkali masih terjadi padanya atas kaum laki-laki.

Budaya itu terus melenggang, bergoyang dan memperkosa keadilan, hingga akhirnya memaksa melahirkan berbagai persoalan yang berunjung pada ketidaksetaraan gender. Hal itu menunjukkan bahwa, seolah-olah poisi laki-laki sebagai pihak yang kuat, mempunyai kekuasaan sehingga berkuasa, belaku semena-mena pada perempuan.

Hal ini dapat dengan mudah kita saksikan bersama, dalam kasus menyangkut hak perempuan dalam keluarga, khusus mengenai statusnya sebagai orang tua misalnya, sebagian ulama menisbatkan anak hanya kepada kaum bapak (laki-laki) sebagaimana prinsip garis keturunan patrilineal bangsa Arab yang sudah menjadi ketentuan selama berabad-abad lamanya, juga dalam fikih, bahwa garis keturunan itu hanya ikut kepada ayah, bukan kepada ibu.

Ini menurut hemat saya, jelas-jelas merupakan pelanggaran syariah Islam dan penistaan kaum perempuan, sebab perempuan yang telah bersusah payah, mengandung dan memelihara anaknya hanya sekedar berujung dinilai sebagai pengasuh bukan sebagai garis keturunan; lalu, di mana letak keadilannya?

Nah, berangkat dari persoalan itu lah, mari kita coba sedikit telisik lebih dalam, dari mana ketidakadilan pada perempuan itu lahir.

Misalnya, menurut apa yang telah saya baca dan cerna di dalam bukunya Hamka Haq (2009) bahwa pada zaman dulu, mufasir pada umumnya laki-laki, boleh jadi secara subjektif menafsirkan sesuai dengan prinsip patrilineal bahwa, seorang anak itu adalah anak ayah bukan anak ibunya.

Itulah yang kemudian saya kira yang menjadi sumber sebuah ketidakadilan dalam hal menafsirkan ayat al-Quran menyangkut garis keturunan yang akhirnya menimbulkan pandangan dan juga budaya hingga hari ini.

Perspektif Al-Quran

Padahal, kalau kita cermati seksama di dalam Q.S. Luqman (31): 14 telah dijelaskan secara adil perempuan diakui sebagai orang tua (ibu) bersama ayah dengan terminologi walidayh (kedua orang tua). Bahkan, ditekankan di dalamnya agar setiap orang lebih menghargai ibunya karena jasanya yang begitu besar dalam mengandung, melahirkan, dan memelihara anak-anaknya, ketimbang ayah.

Ketidakadilan itu terjadi ketika menafsirkan kalimat maulud lah (dilahirkan untuknya) yang diartikan bahwa anak itu dilahirkan untuk ayahnya, sebagaimana terdapat dalam Q.S. al-Baqarah (2): 233.

Bertolak dari posisi ayah sebagai al-maulud lah pada ayat di atas, maka lahirlah pemahaman yang tidak adil, bahwa yang berhak memiliki anak adalah ayah, bukan ibu, karena ibu hanya sekedar melahirkan. Pemahaman subjektif ini terilhami oleh kultur patrilineal bangsa Arab, dengan mengabaikan tema al-Qur’an tentang keadilan dan kesetaraan.

Sebenarnya, menurut Q.S. Luqman (31): 14 yang dikutip sebelumnya, al-Quran tidak mengajarkan prinsip patrilineal (garis keturunan ayah), melainkan mengajarkan prinsip parental (garis keturunan ayah dan ibu) secara berkeadilan. Hal ini menunjukkan bahwa syariah mengajarkan kesetaraan dan keadilan gender.

Tetapi tidak hanya itu, bahwa sebenarnya Syariat islam pun juga menekankan kesetaraan, mislanya dalam dunia pendidikan, hal ini dibuktikan dengan sabda Nabi yang menegaskan bahwa mencari ilmu pengetahuan adalah wajib hukumnya atas setiap Muslim. Ini berti tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Semua berhak dan wajib.

Di zaman Nabi dan sahabat pun ada sejumlah perempuan yang memiliki kecerdasan dan keahlian tertentu. Asisyah istri Nabi misalnya, bahwa beliau begitu banyak membantu penyebaran ajaran Islam, tidak lain karena keluasan ilmu dan kecerdasannya. Bahkan, Aisyah pun sepeninggal Nabi menjadi seorang guru besar sehingga dijadikannya guru oleh para fuqohak.

Jadi, ketika hari ini masih memandang perempuan dengan kacamata merendahkan, masih memandang perempuan sebagai seorang yang remeh, tak berdaya, otaknya lemah atau serupa dengan itu, sehingga melahirkan sebuah ketidakadilan padanya atas hak-haknya, maka boleh dibilang itu sangat kekeliruan yang amat fatal. Seharusnya keadilan anatra laki-laki dan perempuan itu ditegakkan, agar peradaban kehidupan yang berkeadilan tetap tercipta.

Wallahu a’lam..

Sumber: Disarikan dari Buku Islam Rahmah untuk Bangsa, 2009, karya Hamka Haq.