Akhir-akhir ini muncul suatu pernyataan yang cukup fenomenal yakni telah terjadi pemberlakukan hukum rimba dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pernyataan ini bukanlah omong kosong belaka, tetapi pernyataan ini merupakan respon spontan atas terjadinya kekerasan-kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Ada tawuran antar mahasiswa dalam satu universitas yang berbeda fakultas yang berujung kepada kematian dari salah satu mahasiswanya. Ada juga pertikaian antar kelompok pelajar di sekolah menengah yang mengakibatkan terenggutnya nyawa dari pelajar yang bertikai. Ada juga pertawuran antar pelajar/mahasiswa dengan pihak kepolisian. Ada lagi pertikaian antar gank sekolah yang terjadi di lokasi sekolah, dan ada lagi kejadian pemukulan yang dilakukan oknum guru kepada beberapa siswanya. Di samping tindakan-tindakan anarkhis ini, ada lagi kejadian tindakan amoral yang mengotori dunia pendidikan yakni seperti kejadian perbuatan tidak senonoh dari oknum pendidik kepada anak didik yang hanya meluapkan nafsu hewaniyah semata, sex bebas para pelajar, dan lain-lain. Kejadian-kejadian di atas merupakan potret keprihatinan yang melanda dunia pendidikan kita. Mengapa fenomena-fenomena yang memalukan ini bisa terjadi? Di manakah peran pendidikan agama yang selama ini diajarkan dalam dunia pendidikan di Indonesia?

Problem atau penyakit kronis yang melanda dunia pendidikan akhir-akhir ini disinyalir sebagai salah satu akibat mandulnya dan ketidakberdayaan pendidikan agama yang diajarkan di lembaga sekolah, lembaga keluarga maupun lembaga masyarakat (tri pusat pendidikan). Pendidikan agama yang selama ini berjalan banyak digugat oleh masyarakat karena dianggap tidak berdaya dan tidak memadai membentuk peserta didik yang mampu menghadirkan pesan-pesan moral-keagamaan. Praktek pendidikan agama belum bisa seiring dengan misi pendidikan agama yakni untuk memanusiakan manusia dengan segala keunikannya, baik sebagai makhluk Tuhan yang punya fitrah, makhluk individual yang mempunyai banyak potensi dan kekhasan, dan makhluk sosial yang hidup dalam realitas empirik yang plural (menghargai perbedaan, toleran, inklusif, dan damai).

Pendidikan agama yang termasuk di dalamnya pendidikan agama Islam terasa mengalami kegagalan dan belum dapat secara optimal menghasilkan kepribadian muslim yang kaffah secara fisik, ruhani, intelektual dan sosial. Jika diidentifikasi akar masalahnya, maka nampaklah bahwa dalam realitanya sering pendidikan agama lebih dilakukan secara kognitif, normatif-doktrinal, tekstual, anti realitas dan jauh dari isu-isu aktual-kontekstual. Pendidikan agama hanya memberikan sejumlah doktrin yang harus dihafal secara letterlick dan tidak operasional. Sehingga sering ditemukan di zaman sekarang ini, orang yang paham dan hafal tentang ajaran agama tetapi tetap melakukan tindak kejahatan yang mendzalimi orang lain.

Realita pahit ini mestinya perlu dicermati dan dicari solusi terbaiknya. Berbagai problem yang dialami pendidikan agama ini tidak akan dapat terselesaikan hanya mengandalkan lembaga pendidikan formal atau lembaga sekolah saja, namun perlu sinkronisasi dan dukungan keterlibatan dari lembaga pendidikan keluarga dan lembaga pendidikan masyarakat. Karena sering anak di didik di sekolah agar berakhlak mulia, tetapi setelah bergaul di masyarakat terkontaminasi dan terseret perilaku yang tidak baik. Di samping itu, di dalam lingkungan keluarga sering juga ditemukan para orang tua tidak begitu peduli terhadap tayangan-tayangan televisi yang dikonsumsi anak-anaknya, sehingga tayangan inilah yang bisa membentuk prilaku negatif anak.

Dalam konteks pendidikan di sekolah, pendidikan Islam idealnya harus melakukan transformasi dari praktek pendidikan yang telah ada menuju kondisi yang lebih baik, mulai dari aspek konseptualisasi hingga aplikasi, seperti kelembagaan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan penyediaan SDM. Pendidikan Agama Islam di sekolah perlu diorientasikan pada tataran moral action, yakni agar peserta didik tidak hanya berhenti pada tartan kompetensi (competence), tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan ajaran dan nilai-nilai agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks pendidikan di lingkungan keluarga, perlu adanya reorientasi pendidikan agama di keluarga. Tanggung jawab orang tua dalam memberikan pendidikan agama terhadap anggota keluarga akan memberi dampak yang paling nyata dalam peningkatan pendidikan agama. Lingkungan keluarga harus dikembalikan fungsinya sebagai “madrosatul ula” dan fungsi-fungsi anggota keluarga harus kembali mendapat penguatan, apakah itu sebagai ayah, ibu maupun anak, yang merupakan lingkungan terkecil dari suatu masyarakat.

Sedangkan dalam konteks pendidikan di lingkungan masyarakat, perlu adanya penguatan learning society dalam pendidikan agama. Salah satu sarana potensial dalam penguatan learning society adalah Masjid, Musholla, Langgar dan sejenisnya. Dalam hal ini, tempat-tempat ibadah itu perlu difungsikan kembali sebagai tempat belajar masyarakat untuk meningkatkan wawasan keagamaan-keislaman seperti pengadaan pengajian yang terprogram, pengadaan tadarusan Al-Qur’an, dan lain-lain. Apalagi kenyataan sekarang, banyak masyarakat yang notabene muslim disibukkan dengan tontonan-tontonan yang disajikan televisi ataupun disibukkan dengan budaya jalan-jalan ke mall.

Kita berharap semoga dunia pendidikan khususnya pendidikan agama bisa berbenah diri dan bisa dijadikan sebagai upaya transformasi pada level individu dan masyarakat. Pada level individu, pendidikan diharapkan dapat mencetak orang yang berkesadaran tinggi, teraktualisasi potensi dirinya, mandiri, berpikir kritis, kreatif, orisinil, dan realistis. Sedangkan pada level masyarakat, pendidikan dapat berfungsi sebagai upaya melakukan transformasi tatanan masyarakat yang tidak humanis dan kurang mencerminkan nilai-nilai keadilan universal.

by : Fauzi Muharom