Kalau kita amati secara seksama, posisi umat Islam di antara bangsa-bangsa lain di dunia dewasa ini dirasakan sangatlah lemah. Kaum Muslim tidak lagi menduduki posisi dominan sebagai penguasa dunia, sebagaimana era Keemasan Islam. Semenjak era kolonialisme, Dunia Ketiga, termasuk di dalamnya adalah dunia Islam, merupakan “dunia menyedihkan”, untuk meminjam istilah Franz Fanon dalam The Wretched of the Earth (1968). Kaum Muslim di Palestina yang belum juga meraih “kemerdekaannya, kaum Muslim di Afganistan telah menjadi ajang pembantaian. Demikian pula nasib kaum Muslim di Suriah dan Mesir, yang hingga kini masih dilanda konflik politik yang belum juga usai. Intinya, dunia Islam sekarang ini berada dalam kondisi yang terjepit, diobok-obok dan terkotak-kotak oleh dunia dan bangsa lain.

Pada pertengahan tahun 90-an, para pengamat Islam seperti Fazlur Rahman, John L. Esposito atau Bruce Lawrence, telah meramalkan adanya optimisme kelahiran dan kebangkitan kembali dunia Islam. Dengan mengemukakan beberapa fakta, mereka memastikan bahwa kebangkitan kembali itu akan muncul di daerah Asia Tenggara atau kawasan Melayu (Azyumardi Azra, 1999: xv-xix). Akan tetapi, hingga kini, apa yang mereka ramalkan itu kiranya jauh dari kenyataan. Di Indonesia, misalnya, meskipun kaum Muslim adalah penduduk mayoritas, tetapi konflik atas nama agama, yang berujung kerusuhan, seperti kaum Syiah di Madura atau Ahmadiyah di Bogor, terus saja terjadi. Ini sangat menyedihkan dan memalukan, karena telah mencederai Islam sebagai rahmatan li al-’alamin.

Untuk menghilangkan kepedihan itu, marilah kita menengok masa lalu. Sejarah sebagai peristiwa masa lalu kiranya sangat penting untuk dipelajari. Dengan sejarah kita bisa mengambil pelajaran bermakna, agar tidak jatuh dua kali pada lobang yang sama. Kurang dari lima belas abad yang silam, tepatnya 2 Juli 622 M Nabi Muhammad telah sampai di Madinah, dalam rangka melakukan hijrah sebagai alternatif perjuangan. Mengapa Nabi melakukan hijrah? Ini adalah pertanyaan yang perlu dikemukakan. Kematian Abu Thalib dan Khadijah kiranya telah menjadi beban berat bagi Rasulullah kala itu. Abu Thalib adalah Paman Nabi yang senantiasa melindungi Nabi dari tindak kekerasan dan kekejaman kaum Musyrik Quraisy, sedangkan Khadijah adalah isteri Nabi yang senantiasa membantu Nabi dalam perjuangannya, memberinya modal fisik dan psikis, agar Nabi dapat terus berjuang. Dengan meninggalnya dua pelindung Nabi ini, kiranya telah terbuka lebar jalan bagi kaum Musyrik Quraisy untuk berbuat kezaliman dan kekejaman terhadap Nabi. Oleh karena itu, melihat kondisi seperti ini, Nabi memutuskan untuk hijrah. Jadi, hijrah di sini merupakan strategi Nabi agar dapat meneruskan perjuangannya.

Menarik mencermati dan menganalisa fenomena hijrah Nabi adalah menggunakan teori Withdrawal dan Return dari Arnold J. Toynbee, seorang sejarawan Inggris yang telah menulis A Study of History (1956). Withdrawal berarti “mundur-mapan” dan Return berarti “kembali-maju”. Menurut Toynbee, adakalanya suatu kekuatan yang merasa masih lemah di dalam menghadapai suatu tantangan (challange), perlu mundur untuk sementara waktu. Masa pengunduran diri ini digunakan sebaik-baiknya untuk menyusun dan mengumpulkan kekuatan-kekuatan baru. Apabila dirasa bahwa kekuatan-kekuatan baru itu sudah cukup mampu untuk menghadapi tantangan yang ada, maka bergeraklah ia melakukan return, kembali maju menghadapi tantangan itu. Rasulullah pada masa awal di Mekkah selalu ditimpa kekejaman dan kezaliman dari kaum Musyrik Quraisy, di samping musibah kematian pamannya, Abu Thalib dan isterinya, Khadijah. Kemudian Rasulullah melakukan Withdrawal dengan hijrah ke Madinah. Di Madinah Rasulullah menghimpun dan menyusun kekuatan-kekuatan baru. Setelah semua kekuatan tersusun barulah beliau melakukan return, yaitu terjadinya peristiwa “Penaklukan Makkah” (Fathu Makkah) pada tanggal 1 Januari 630 Masehi.

Tiga Kekuatan Strategis

Peringatan persitiwa hijrah pada tahun ini kiranya merupakan momen yang tepat bagi kaum Muslim Indonesia untuk melakukan withdrawal ala Toynbeean ini. Bulan Muharram ini perlu dijadikan sebagai bulan pengunduran diri, dalam rangka menghimpun tenaga untuk tampil kembali ke permukaan. Indonesia sejak beberapa tahun yang lalu telah ditimpa krisis multidimensi yang hingga kini belum kelihatan resolusinya. Beberapa kasus korupsi para pejabat, tawuran antarpelajar, bahkan antarmahasiswa, kerusuhan di Lampung dan Poso, kejahatan narkoba oleh penegak hukum, dan berbagai tindakan kejahatan lainnya, terus saja bermunculan menghiasi kaca televisi kita. Belum lagi gonjang-ganjing politik yang tak kunjung selesai, karena tarik ulur kepentingan.

Dalam kondisi seperti itu, menurut hemat saya, paling tidak ada tiga hal yang perlu diperhatikan kaum Muslim Indonesia dalam rangka withdrawal ini. Pertama, Pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ini menyangkut perbaikan sistem perekonomian nasional yang mengalami kemerosotan, terutama akibat krisis moneter yang berkepanjangan, dan berbagai bencana alam di berbagai kawasan Indonesia. Sistem perekonomian yang berlaku saat ini kiranya belum mampu menciptakan masyarakat Indonesia yang makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran. Oleh karena itu, perlu adanya upaya penyusunan kembali sistem perekonomian nasional yang berbasis kepada masyarakat. Kedua, Resoliditas kekuatan otot. Ini berkaitan dengan daya tahan dan daya juang militer nasional. Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus disolidkan kembali fungsinya, yaitu menjaga dan memelihara negara kesatuan RI, dari segala ancaman dan gangguan, baik dari dalam maupun dari luar negeri. TNI tidak boleh ikut campur dalam masalah perpartaian. Biarlah itu menjadi urusan masing-masing partai. Ketiga, Pengembangan otak. Ini tentunya berhubungan dengan upaya seluruh masyarakat Indonesia dalam rangka mengembangkan aspek intelektualnya. Belajar dan belajar adalah kunci utama aspek ini. Tanpa belajar, kita tidak bisa berbuat banyak untuk mengejar ketertinggalan kita. Dengan bekal ilmu pengetahuan dan teknologi, Indonesia selaku bangsa diharapkan mampu bersaing dengan bangsa lain. Setelah ketignya dapat direncanakan dan dilaksanakan, maka itu berarti kita sudah saatnya melakukan return.

Tiga hal dalam rangka withdarawal di atas, yaitu menyangkut masalah ekonomi, militer dan pendidikan, sebenarnya merupakan penjabaran dari sabda Rasulullah, “Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah”. Sabda ini mengisyaratkan bahwa kita selaku bangsa yang beriman harus memiliki kekuatan, paling tidak kuat ekonominya, kuat militernya, dan kuat pendidikannya. Kalau kita memiliki kekuatan-kekuatan ini, maka apapun yang kita ucapkan tentu akan didengar orang, dan apapun yang kita perbuat, maka akan diperhatikan orang. Inilah yang dimaksudkan oleh Anthony Giddens bahwa kekuasaan dengan segala fasilitasnya (seperti ekonomi, politik, budaya dan lain-lain) akan melahirkan dominasi atas negara lain. Kalau kita kuat ekonominya, kuat militernya dan kuta pendidikannya, maka kita akan menjadi bangsa yang berkuasa. Kalau kita menjadi bangsa penguasa, maka kita dipastikan tidak akan menjadi obok-obokkan bangsa lain, tapi justeru akan diperhitungkan oleh bangsa lain.

Dengan ini saya menyimpulkan bahwa kita perlu menjadikan bulan Muharram tahun ini sebagai bulan penggalangan kekuatan, sebagaimana Rasulullah telah melakukannya. Kita harus segera menyusun kekuatan dalam bidang ekonomi, militer dan pendidikan. Kalau ini bisa dilakukan, maka prediksi para pengamat Islam bahwa kebangkitan kembali Islam akan muncul di kawasan Asia Tenggara atau Melayu, akan menjadi sebuah kemungkinan. Semoga!.

By : Toto Suharto