Harta, Tahta, Wisuda

Oleh: Ir Rohardiyanto*

transparent graduation 5d647fd54b08c0.7755866615668674133073

Kini tiba saatnya kita untuk berpisah…

S’lamat tinggal tahun yang lama penuh kenangan..

Auld Lang Syne oleh Robert Burns (1759-1796)

 

Pergeseran kebiasaan saat ini sangat berpengaruh pada semua lini. Lirik lagu perpisahan auld land syne (hari-hari yang telah berlalu-Scottish) tersebut sudah mulai jarang diketemukan saat acara perpisahan atau wisuda. Yang ada adalah didendangkannya lagu yang sedang naik daun, misalnya Kartonyono Medot Janji, Kemesraan, Iwak Peyek dan lain sebagainya. Di era kebiasaan baru ini, saat wisuda yang dinanti-nantikan itu sangat dibatasi mulai dari wisuda LDR dengan berbagai platform dan sistem drive-thru, meskipun wisuda itu suatu keniscayaan, namun prosesi itu merupakan suatu persitiwa penting dalam daur hidup individu untuk meningkatkan status sosial (sebut saja naik tahta untuk menjemput harta). Menyorot wisuda era new normal ini maka akan berbenturan dengan tradisi lisan masyarakat Jawa yaitu mangan ora mangan kumpul (makan tidak makan asal berkumpul) yang sarat akan nilai sosial. Namun, demi kesehatan dan keselamatan, ungkapan tersebut harus dipahami lebih arif. Sekarang harus berpandangan madhep ngalor sugih, madhep ngidul sugih (menghadap ke utara yakin kaya, menghadap ke selatan juga yakin kaya). Terkait wisuda LDR, terkadang sebagian besar masyarakat Jawa masih menganggap kehadiran personal lebih utama daripada kehadiran konseptual dan kehadiran intelektual.

Harta, tahta, wisuda merupakan simbol ekspektasi setiap individu dalam ranah sosial dan akademik. Asa tinggi individu untuk memperoleh rekognisi sosial yaitu berupa wisuda. Sejak dahulu kala dalam sastra lisan masyarakat Jawa bidang pewayangan, saat pengukuhan Gatotkaca dalam acara Gatotkaca Winisuda oleh Prabu Kresna (King of Dwarawati) merupakan simbol pergeseran stratifikasi sosial atau status sosial saat menjadi pucuk pimpinan sebagai Raja Pringgondani, tahta pun diperoleh, gelar pun berubah menjadi Prabu Anom Gatotkaca akhirnya harta pun memenuhi kediamannya. Efek yang terlihat adalah sedikit demi sedikit terjadi pergeseran gaya bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Bagi wisudawan baru, rucita loker, ‘pengacara’ (pengangguran banyak acara), part-timer, eureka, KUA akan sangat familiar bagi mereka. Di masyarakat pun saat mereka pulang kampung, lambat laun terjadi pergeseran gaya bahasa. Diksi yang dipilihpun menjadi sedikit kekinian dan bernuansa intelektual. Terdapat anekdot: dulu saat ditanya tetangga, apa kelebihanmu? Jawabnya banyak kekurangan. Apa kekuranganmu? Jawabnya: Gak punya kelebihan. Sekarang sudah bisa merespon pertanyaan tetangga maupun ‘camer’ dengan lebih percaya diri bahwa sudah menyabet undergraduate degree dari UIN Raden Mas Said Surakarta (insyaAllah).

Simbol Komunikasi Non-Verbal

Ada pertanyaan, kenapa wisuda memakai toga? Ternyata ini adalah salah satu cultural transmission (berupa transmisi tradisional) dari generasi awal ke generasi berikutnya. Diolah dari berbagai sumber, toga berasal dari kata ‘tego’ yang artinya penutup dan mulai berkembang di Romawi. Simbol komunikasi non-verbal dari sebuah toga yang antara lain: berkaitan dengan warna, topi wisuda, tali kuncir, meskipun sekarang ditambah dengan samir dan selempang. Dalam kajian Semantik, terdapat kajian makna sebuah warna dan juga berkaitan dengan psikologi warna. Ternyata toga berwarna hitam memiliki makna sesuatu yang elegan, keanggunan, kemakmuran, percaya diri, ketegasan, misteri, duka/ sedih dan banyak yang lainnya.  Diharapkan, mengenakan toga menambah percaya diri, memutus misteri kegelapan studi yang sudah mulai mendapatkan kecerahan, dan tentunya meningkatkan tahta (status sosial). Dalam psikologi bentuk, topi wisuda yang berbentuk segi lima bersudut lancip memiliki komunikasi non-verbal yang luar biasa yaitu sesuatu yang lancip merupakan simbol Lantip (super cerdas/ berotak cemerlang) diharapakan memiliki daya rasionalitas tinggi, mengamati fenomena kehidupan dari berbagai perspektif. Tali kuncir yang saat jaman City of Eternal (Romawi) kurang begitu nampak, akibat terpengaruh budaya Pam Sam akhirnya ada tali kuncir di topi wisuda. Saat seremoni wisuda, biasanya tali kuncir dipindah dari kiri ke kanan. Komunikasi non-verbal yang ditunjukkan adalah adanya ekspektasi tahta wisudawan dari belum bekerja dan menjadi pekerja, dari status pelajar menjadi status sarjana/ magister/ doktor. Dari pendekatan Neuro-Psikolinguistik, ternyata pemindahan tali kuncir, menyimbolkan kebiasaan lama sang wisudawan yang sering menggunakan hemisfer kiri untuk menyerap ilmu berubah menjadi kebiasaan baru yaitu kebiasaan memanfaatkan hemisfer kanan agar lebih memunculkan sisi kreativitas, meluaskan imajinasi dan inovasi tiada henti. Komunikasi non-verbal dari pemindahan kuncir dilihat dari sisi pustakawan (dan kalangan kutu buku) merupakan simbol dari tali pembatas buku yang terkandung pesan bahwa individu harus terus membolak-balikkan tali tersebut artinya selalu ingin baca dan terus membaca untuk menambah pengetahuan yang dinamis, wawasan dan kompetensi. Samir yang dikenakan juga menyimbolkan kemewahan, keagungan, dan respect. Pemanis prosesi wisuda berikutnya yaitu selempang wisuda yang menyimbolkan rekognisi diri dan sosial. Meskipun telah terjadi pergeseran sosial, yang awalnya sebagai simbol kemenangan di suatu ajang kejuaraan kemudian masuk ke ranah prosesi wisuda. Inovasi-inovasi seperti ini akan terus berkembang, asalkan sesuai norma sosial, hal tersebut akan dipertahankan seperti di luar sana saat pemenang naik podium disemprot minuman keras untuk menambah sukacita bisa jadi di negeri ini dengan memecah kendi (tempat minum dari tanah liat).

Sejalan dengan ajakan Dr Qosim (Pakar Linguistik) (https://fab.iain-surakarta.ac.id/neliti-bahasa-yuk/), mari para wisudawan yang dwibahasawan maupun multibahasawan untuk memercikkan secercah ide yang tentunya masih sangat glowing tentang banyak fenomena kebahasaan disekitar kalian. Dengan wisuda ini bisa meningkatkan tahta para wisudawan terutama di kancah dunia kebahasaan, menjadi pereksa Bahasa pemula (apapun itu bahasanya baik lokal maupun interlokal, baik verbal maupun non verbal) serta bisa meningkatkan income per kapita (*harta pun mendekat) yang berakhlakul karimah (antonimi ‘gak ada akhlak’). Semoga

Mangayu Bagyo Wisuda 43 & 44

Juli & September 2020

 

*Penulis adalah Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris